Oleh : dr. Bambang Adi Setyoko, Sp.PD
Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah besar di Indonesia karena prevalensinya tinggi dan risiko komplikasi-komplikasinya. Di daerah dengan endemik tinggi seperti di Negara kita, infeksi hepatitis B biasanya terjadi melalui infeksi perinatal (penularan ibu hamil-anak) atau pada awal masa anak-anak. Sebagian yang lain penderita hepatitis B diketemukan secara tidak sengaja pada saat test kesehatan, skrening transfusi darah, atau pada saat cek up kesehatan untuk bekerja. Paparan infeksi hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis akut, hepatitis “fulminan” (berat), dan hepatitis kronis yang akan berlanjut menjadi sirosis hati dan kanker hati. Kasus hepatitis B akut tidak terlalu sering dijumpai dalam praktek dokter sehari-hari. Berbeda dengan kasus hepatitis A yang banyak dijumpai pada “musim” dan saat-saat ini, karena mudahnya penularan melalui makanan dan minuman yang tercemar virus hepatitis A.
Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala dan keluhan apapun sampai gejala yang berat akibat sirosis hati dan komplikasinya seperti mata kuning, perut membesar berisi cairan, muntah darah dan koma. Pasien dengan paparan hepatitis B akut biasanya mengalami gejala seperti sakit influenza. Demam, pegal2, mual dan muntah, sebagian disertai dengan mata kuning dan kencing berwarna coklat. Sebagian besar kasus hepatitis B akut (> 80-90 %) akan sembuh karena mekanisme petahanan tubuh, namun sebagian kecil yang lain akan berlanjut menjadi hepatitis B kronik dengan segala konsekuensinya. Repotnya, infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya malah tanpa gejala, namun lebih dari 90 % kasusnya akan menjadi kronik dan berkembang menjadi penyakit hati lanjut, sirosis hati dan kanker hati. Hal ini sering menjadi persoalan kesehatan, karena penderita pada awalnya tidak pernah merasa “sakit kuning”, tidak merasakan gejala, mungkin hanya kadang merasa lemas saja. Padahal peradangan dan kerusakan hati akibat virus hepatitis B tetap berlangsung pelan dan kronis, dengan konsekuensi kerusakan hati lebih lanjut dalam beberapa tahun kedepan. Karena itulah hepatitis B ini sering disebut dengan “silent killer”. Perlu dikenali, dideteksi dan diterapi secara dini untuk mencegah kerusakan sel-sel hati lebih parah.
PENCEGAHAN
1. Imunisasi
Upaya pencegahan infeksi hepatitis B merupakan hal terpenting karena merupakan upaya yang paling ekonomis, mengingat masih mahalnya harga obat dan pemeriksaan laboratorium untuk penatalaksanaan infeksi hepatitis B. Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi (penularan) hepatitis B. Saat ini terdapat dua jenis imunisasi yang tersedia, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan pemberian vaksin hepatitis B. Vaksin diberikan dengan 3 dosis terpisah dengan interval 0,1 dan 6 bulan. Pemberian 3 dosis vaksin ini akan mampu melindungi tubuh dari infeksi hepatitis B dengan tingkat keberhailan > 90 % selama lebih dari 20 tahun. Pemberian vaksis hepatitis B direkomendasikan pada individu yg berisiko tinggi terinfeksi VHB, diantaranya : individu terpapar produk darah pada kerjanya, pasien ginjal yang menjalani cuci darah, orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan penderita hepatitis B, tinggal di daerah endemis hepatitis B, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu dg hepatitis B. Imunisasi pasif digunakan hepatitis B immune globulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara cepat dan biasanya diberikan segera setelah bayi lahir bila ibunya penderita infeksi hepatitis B kronis.
-
Pencegahan umum.
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan vagina, cairan sperma, dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak ada bukti penyakit ini bisa menular lewat keringat. Pencegahan umum infeksi VHB dicapai dengan menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh pasien. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : menggunakan sarung tangan bagi tenaga medis yang kontak dengan penderita, sterilisasi instrument dan alat kesehatan dengan benar, penyuluhan dan pembinaan bagi penggunan obat untuk tidak memakai jarum suntik bergantian, menghindari memakai alat yang diduga dapat menularkan VHB ( sikat gigi, sisir, pisau cukur), memakai kondom bila pasangan mengidap VHB, dan skrining ibu hamil yang berisiko tinggi terifeksi.
MENCEGAH KERUSAKAN HATI LEBIH LANJUT
Virus hepatitis B sebenarnya tidak secara langsung menimbulkan kerusakan sel hati. Munculnya gejala dan variasi perjalanan penyakit akibat inveksi VHB sangat bergantung pada keseimbangan antara virus dan sistem kekebalan tubuh. Pajanan virus ini akan menyebabkan 2 keluaran gejala : 1. hepatitis B akut yang kemudian akan sembuh spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini. 2. Berkembang menjadi hepatitis B kronik dg segala akibatnya. Dengan demikian seseorang yg didiagnosis dokter sebagai hepatitis B akut dg gejala seperti demam, mual, muntah, mata dan kencing kuning seperti teh, pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, bilirubin total dan direk, HbsAg (+), IgM anti Hbc (+), dan tidak ada penyebab lain gangguan fungsi hatinya, oleh “kecanggihan” system kekebalan tubuh ciptaan Tuhan ini lebih dari 90 % akan dapat sembuh spontan, untuk kemudian tubuh akan membentuk kekebalan secara alamiah. Hanya saja masalah akan menjadi lebih komplek dan sulit ketika system kekebalan tubuh tidak dapat mengatasi pajanan VHB, kemudian berlanjut menjadi hepatitis B kronik (menahun). Pada umumnya diperlukan pemeriksaan laboratorium berkala yang cukup mahal, dan pengobatan anti virus hepatitis baik yang berupa tablet maupun injeksi yang harganya juga tidak murah. Di Negara berkembang mahalnya biaya pemeriksaan laborat dan harga obat hepatitis B ini menjadi masalah kesehatan tersendiri. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) bersama DEPKES dan perusahaan farmasi kabarnya sedang mengupayakan penurunan biaya pemeriksaan Lab dan pengobatan hepatitis B. Namun Peserta ASKES PNS saat ini sudah bisa mendapatkan pengobatan yang memadai karena obat-obat VHB saat ini sudah masuk dalam DPHO ASKES, meski dengan pembatasan-pembatasan dan rujukan khusus.
Memang pengobatan hepatitis B kronik masih menjadi persoalan kesehatan. Khususnya karena masih mahalnya biaya pemeriksaan Lab dan harga obat. Meskpun demikian masyarakat luas sudah semestinya lebih memahami bagaimana mesti bersikap bila sudah terpapar hepatitis B, khususnya hepatitis B kronik. PPHI menyusun Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B terbaru yang terbit th 2012. Berikut akan saya sampaikan sedikit ringkasan bagaimana penatalaksanaan Hepatitis B kronik.
Kapan seorang pasien disebut dengan pengidap hepatitis B kronik?. Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan bila : 1. pemeriksaan Lab HbsAg positif yang menetap dalam 6 bulan. 2. Kadar DNA VHB > 20.000 IU/ml. 3. Peningkatan kadar SGPT yang persisten atau intermiten. 4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis.
Pengidap HBV inaktif : HBsAg positif > 6 bulan, HBeAg (-), anti HBe (+), SGPT normal, kadar DNA VHB <2000-20.000 IU/ml, biopsy hati tidak menunjukkan peradangan hati yg dominan.
Bila pasien berkonsultasi ke dokter dengan hasil Lab HBsAg (+), memang perlu dilakukan kajian lebih detail sebelum pemberian pengobatan anti virus VHB. Hal ini penting untuk menentukan status dan kondisi pasien, serta derajad kerusakan hati yg sdh terjadi. Untuk menghemat biaya Lab saya kira cukup diperiksa kadar SGPT, SGOT, HBsAg dan HBeAg. Bila hasilnya tidak normal mungkin perlu dilanjutkan pemeriksaan DNA VHB yang lebih mahal. Bila kadar SGPT normal pada awal pemeriksaan, periksa secara berkala tiap 1-3 bulan sehingga dapat dideteksi peningkatannya, karena peningkatan ini mungkin berarti virus mulai “berulah” dan perlu dimulai terapi anti virus. Pemeriksaan ulang HBsAg untuk melihat titer (kadarnya) tidaklah perlu, dan tidak memiliki banyak arti, apalagi bila sudah pasti positif dalam waktu > 6 bulan. Bila diperlukan, Pemberian obat anti virus VHB ini harus dengan monitoring dan pengawasan yang ketat baik gejala maupun Lab nya, khususnya karena risiko resisten atau kebal obat dapat terjadi dan pemilihan obat yang lebih tepat. Pada pasien hepatitis B kronis ini PPHI juga merekomendasikan evaluasi USG secara berkala paling tidak 6 bulan sekali supaya dapat dideteksi dini terjadinya sirosis hati dan kemungkinan berkembangnya kanker hati akibat VHB.
Pemberian obat-obat “hepato protector” yang saat ini beredar mulai dari temu lawak, obat herbal maupun obat fitofarmaka tidak dilarang, namun hanya bersifat “suportif” saja, karena belum ada bukti dapat mengobati apalagi mematikan VHB. Berkonsultasilah dengan dokter anda untuk evaluasi dan mendapat terapi yang lebih tepat bila mengidap hepatitis B kronik ini, karena pada umumnya tidak menimbulkan banyak keluhan fisik namun risiko kerusakan hati lebih lanjut sulit untuk diprediksi. Imunisasi sampai saat ini masih merupakan pilihan utama yang cost effective untuk pencegahan dengan angka keberhasilan yang tinggi. Mudah-mudahan informasi ini dapat sedikit membuka wacana pembaca mengenai hepatitis B, dan semoga bermanfaat.