Archives Mei 2017

PENATALAKSANAAN PASIEN HIV

Oleh : dr. IDIL FITRI, Sp. PD

APA ITU PENYEBAB AIDS

Misteri   AIDS

Semua Orang Bisa Terkena AIDS
Belum Ada Vaksin Pencegahannya
Belum Ada Obatnya
Penyebaranya Sangat Cepat

Pengetahuan tentang AIDS adalah langkah pertama untuk pencegahan penyebaran AIDS lebih meluas

Situasi HIV di Indonesia

Angka kematian menurun tajam

Penggunaan obat ARV meningkat

Tes HIV semakin meningkat dengan pendekatan PITC

Kasus baru pengguna narkoba suntikan menurun Tajam

Kasus baru ibu rumah tangga dan LSL meningkat

Diskriminasi di kota besar berkurang namun di kota kecil/daerah masih terjadi

Upaya Pencegahan yang Penting

Obat antiretroviral

Kondom

Sirkumsisi pada laki-laki

Perubahan perilaku

Upaya Peningkatan Cakupan Tes HIV dan ART

  • Revisi pedoman Tes dan Konseling HIV
  • Penyusunan Pedoman Tatalaksana HIV di Fasyankes Primer
  • Integrasi pemeriksaan HIV pada pilot project penapisan Hepatitis B pada bumil di DKI Jakarta
  • Pelatihan LKB untuk 75 kab/kota (selesai Desember 2013) dan 15 kab/kota (2014)

Upaya Peningkatan Cakupan Tes HIV dan ART

  • Penawaran tes HIV pada:
  • Pasien IMS, ibu hamil, pasien TB, pasien Hepatitis, pasangan ODHA, LSL, WPS dan WBP
  • Konseling pasca tes untuk akses layanan LKB
  • Tes ulang bagi populasi kunci (retesting) setiap 6 bulan jika hasil negatif
  • Pemberian konseling keluarga (family counseling) dan konseling pasangan (couple counseling) bagi ODHA

Upaya Peningkatan Cakupan Tes HIV dan ART

  • Memulai pemberian ARV:
    • Pada populasi umum jika jumlah CD4 < 350
    • Tanpa melihat jumlah CD4 pada:
      • n Ibu hamil
      • n Pasien ko-infeksi TB
      • n Pasien ko-infeksi Hepatitis
      • n Pasangan sero-discordant
      • n Populasi kunci
    • Penyediaan rapid tes HIV, triple FDC, dan alat2 monitoring pengobatan (CD4, VL)

Upaya Diagnosis Dini

  • Memperbanyak layanan testing HIV Provider Initiative Testing and Counseling (PITC)
  • Tes untuk : pengguna narkoba suntikan pasangan seksual, IMS, TBC, ibu hamil, anak yang lahir dari ibu HIV positif
  • Semakin dini diagnosis maka semakin kecil risiko infeksi oportunistik

Siapa yang Harus di Tawarkan Tes

  • Pengguna narkoba (suntikan)
  • Hubungan seks tak aman
  • Pasangan seksual kelompok berisiko
  • Ibu hamil
  • Penderita PMS
  • Penderita TBC
  • Penderita penyakit lama yang tak sembuh (demam, diare, batuk, berat badan menurun yang tidak diketahui sebabnya)
  • Mereka yang ingin tes

Penularan HIV

HIV Dalam jumlah yang bisa menularkan ada di :

  • CAIRAN SPERMA
  • CAIRAN VAGINA
  • DARAH
  • AIR SUSU IBU

Kegiatan yang menularkan:

  • Hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV
  • Transfusi darah yang tercemar HIV
  • Mengunakan jarum suntik, tindik, tatto bersama-sama dengan penderita HIV dan tidak disterilkan
  • Dari Ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada anak yang di kandungnya

MEMULAI TERAPI ARV LEBIH AWAL

Perubahan Guideline WHO

  • 2005  (mulai ARV CD4 < 200)
  • 2010  (mulai ARV CD4 < 350)
  • 2013  (lebih dini lagi, CD4 diatas 350 dapat mulai ARV namun prioritas CD4 dibawah 350

Obat Antiretroviral

  • Menekan jumlah virus HIV
  • Lini I dan Lini 2

Pengobatan dasar ->  Pengobatan infeksi oportunistik -> ARV

Persiapan Mulai ARV

  • Informasi mengenai manfaat
  • Informasi mengenai efek samping
  • Informasi mengenai pentingnya adherens
  • Informasi mengenai cara menggunakan obat
  • Komitmen kesediaan menggunakan obat dengan benar dan teratur

Jangan memulai ARV jika :

  • Pasien tidak memiliki motivasi
  • Pengobatan tidak dapat terus menerus seumur hidup
  • Tidak dapat memonitor
  • Gangguan fungsi ginjal / hati berat
  • Penyakit oportunistik/ infeksi oportunistik terminal/ tak dapat di sembuhkan, mis : limfoma maligna

MANFAAT VS RISIKO MEMULAI ARV LEBIH AWAL

MANFAAT

  • ↓ risiko penularan HIV
  • ↓ risiko infeksi TB
  • ↓ risiko penyakit non-AIDS yangs erius
  • (jantung, ginjal, hati, kanker)
  • akses ke perawatan
  • kemungkinan pulihnya kekebalan tubuh
  • (CD4 lebih tinggi)
  • ↓ biaya jangka panjang

RISIKO

  • Efek samping jangka panjang
  • Keterbatasan pilihan obat
  • (kemungkinan resistansi
  • obat/kebal)
  • stigma & diskriminasi
  • ↓ kepatuhan jangka panjang ?
  • kebutuhan fasilitas kesehatan
  • biaya jangka pendek

Obat ARV

  • Lini 1 : AZT, 3TC, d4T, Nevirapin, Efavirenz
  • Penggunaan d4T (Stavudin) dalam waktu tidak terlalu lama karena efek samping jangka panjang : lipodisatropi, metabolik
  • Lini 2 : Tenofovir, Lopi/Ritonavir
  • Efek samping Tenofovir : gangguan fungsi ginjal, osteoporosis
  • Efek samping PI : metabolik

Pilihan Obat ARV

  • Tak banyak berubah kecuali penggunaan stavudin. Hati-hati karena efek samping neuropati, lipodisatrofi, dan kelainan Metabolik
  • Stavudin sebaiknya tidak digunakan dalam waktu lama, ganti jika sudah ada efek samping

ARV Fixed Dose Combination (FDC)

  • Lamivudin, Efavirenz(FDC) satu kali malam hari
  • Keunggulan : sederhana , satu kali pakai
  • Tantangan : masih import, efek samping Tenofovir , efek samping Efavirenz
  • Rekomendasi Panli : Odha yang sudah stabil dengan ARV yang ada diteruskan . FDC diutamakan untuk Odha baru
  • Perlu penelitian untuk manfaat dan efek samping sebelum penggunaan terlalu luas.

PEMANTAUAN

BAGAIMANA MENGETAHUI KEBERHASILAN PEMBERIAN OBAT ARV?

  • Pemeriksaan klinis oleh dokter
  • Pemeriksaan CD4 (status kekebalan tubuh)
  • Pemeriksaan viral load (jumlah virus HIV)

MEMANTAU RESPONS PEMBERIAN ARV

  • Pemeriksaan viral load direkomendasikan sebagai pilihan utama untuk mendiagnosis kegagalan terapi ARV
  • Apabila viral load tidak tersedia, pemeriksaan CD4 dan gejala klinis harus dilakukan untuk mendiagnosis kegagalan terapi ARV

Tantangan

  • Mengajak masyarakat peduli pada HIV
  • Mengajak masyarakat mencegah penularan
  • Mengajak masyarakat tes HIV
  • Mengajak masyarakat menggunakan ARV secara berkesinambungan
  • Mengajak masyarakat mencegah penularan dari ibu hamil ke bayi
  • Mengajak masyarakat menghilangkan diskriminasi

Kesimpulan

  • Tes HIV sudah semakin meningkat namun masih harus ditingkatkan secara tajam
  • Terapi ARV selain untuk pengobatan juga penting untuk mencegah penularan
  • Pentingnya menjaga kepatuhan minum obat ARV
  • Perlu perhatian untuk ibu rumah tangga dan LSL yang kasus barunya meningkat

 

 

PENANGANAN AWAL SETELAH CIDERA

Oleh : dr. I Gde Adi Widiastana Sp.OT

Dalam menjalankan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari tidak jarang kita mengalami cidera. Baik berupa cidera ringan seperti terbentur sesuatu barang sehingga tubuh kita memar, atau bahkan cidera berat seperti jatuh terpeleset, kaki terkilir, cidera saat bermain bola sehingga menyebabkan kaki menjadi bengkak dan nyeri bila dipakai untuk berjalan.

Pada keadaan cidera seperti diatas kebanyakan masyarakat belum mengetahui secara benar penanganan pertama yang terbaik. Bila bagian tubuh kita mengalami memar setelah cidera, bengkak dan nyeri yang perlu diperhatikan adalah ada beberapa hal yang pantang atau dilarang keras untuk dilakukan, yaitu Di Pijat, Di Urut-urut, atau Di Tarik-Tarik. Tindakan tersebut adalah SALAH dan TIDAK BOLEH DILAKUKAN. Pada saat awal cidera di dalam tubuh kita sudah terjadi proses pembengkakan dan perdarahan, sehingga bila dilakukan pemijatan atau di urut-urut bukan menjadi sembuh tapi sebaliknya malah akan menyebabkan bengkak dan perdarahan yang ada jadi semakin berat sehingga semakin bertambah bengkak dan nyeri.

Penanganan awal yang benar sebenarnya cukup sederhana yang dikenal dengan singkatan RICE. RICE terdiri dari :

  1. Rest yang artinya bagian tubuh kita yang cidera harus diistirahatkan, jangan dipakai bekerja lagi untuk sementara.
  2. Ice yang artinya diberikan kompres Es pada daerah yang bengkak, dan bukan di kompres dengan air panas.
  3. Compression yang artinya diberikan pembebatan ringan, yang tujuannya untuk mengurangi pembengkakan.
  4. Elevasi yang artinya bagian tubuh yang mengalami cidera disangga atau diposisikan agak lebih tinggi, misalnya pada kaki yang bengkak pada saat tidur kaki yang bengkak tersebut diberi ganjal bantal.

Setelah dilakukan penanganan awal seperti di atas segera ke dokter untuk dapat dievaluasi lebih lanjut tentang tingkat keparahan cidera yang dialami, apakah cukup diberi tambahan obat atau tindakan pengobatan yang lain agar cidera yang dialami cepat sembuh dan tidak bertambah parah. Setelah mengetahui penangan awal cidera yang benar seperti diatas semoga hal tersebut dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian jika sewaktu-waktu mendapati orang-orang di sekitar kita yang mengalami cidera dan membutuhkan pertolongan kita.

HEPATITIS B, BAGAIMANA MENCEGAH PENULARAN DAN KERUSAKAN HATI LEBIH LANJUT

Oleh : dr. Bambang Adi Setyoko, Sp.PD

Infeksi virus hepatitis B (VHB) masih merupakan masalah besar di Indonesia karena prevalensinya tinggi dan risiko komplikasi-komplikasinya. Di daerah dengan endemik tinggi seperti di Negara kita, infeksi hepatitis B biasanya terjadi melalui infeksi perinatal (penularan ibu hamil-anak) atau pada awal masa anak-anak. Sebagian yang lain penderita hepatitis B diketemukan secara tidak sengaja pada saat test kesehatan, skrening transfusi darah, atau pada saat cek up kesehatan untuk bekerja. Paparan infeksi hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis akut, hepatitis “fulminan” (berat), dan hepatitis kronis yang akan berlanjut menjadi sirosis hati dan kanker hati. Kasus hepatitis B akut tidak terlalu sering dijumpai dalam praktek dokter sehari-hari. Berbeda dengan kasus hepatitis A yang banyak dijumpai pada “musim” dan saat-saat ini, karena mudahnya penularan melalui makanan dan minuman yang tercemar virus hepatitis A.

Gejala hepatitis B amat bervariasi dari tanpa gejala dan keluhan apapun sampai gejala yang berat akibat sirosis hati dan komplikasinya seperti mata kuning, perut membesar berisi cairan, muntah darah dan koma. Pasien dengan paparan hepatitis B akut biasanya mengalami gejala seperti sakit influenza. Demam, pegal2, mual dan muntah, sebagian disertai dengan mata kuning dan kencing berwarna coklat. Sebagian besar kasus hepatitis B akut (> 80-90 %) akan sembuh karena mekanisme petahanan tubuh, namun  sebagian kecil yang lain akan berlanjut menjadi hepatitis B kronik dengan segala konsekuensinya. Repotnya, infeksi hepatitis B yang didapatkan pada masa perinatal dan balita biasanya malah tanpa gejala, namun lebih dari 90 % kasusnya akan menjadi kronik dan berkembang menjadi penyakit hati lanjut, sirosis hati dan kanker hati. Hal ini sering menjadi persoalan kesehatan, karena penderita pada awalnya tidak pernah merasa “sakit kuning”, tidak merasakan gejala, mungkin hanya kadang merasa lemas saja. Padahal peradangan dan kerusakan hati akibat virus hepatitis B tetap berlangsung pelan dan kronis, dengan konsekuensi kerusakan hati lebih lanjut dalam beberapa tahun kedepan. Karena itulah hepatitis B ini sering disebut dengan “silent killer”. Perlu dikenali, dideteksi dan diterapi secara dini untuk mencegah kerusakan sel-sel hati lebih parah.

PENCEGAHAN

        1. Imunisasi

Upaya pencegahan infeksi hepatitis B merupakan hal terpenting karena merupakan upaya yang paling ekonomis, mengingat masih mahalnya harga obat dan pemeriksaan laboratorium untuk penatalaksanaan infeksi hepatitis B. Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan transmisi (penularan) hepatitis B. Saat ini terdapat dua jenis imunisasi yang tersedia, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan pemberian vaksin hepatitis B. Vaksin diberikan dengan 3 dosis terpisah dengan interval 0,1 dan 6 bulan. Pemberian 3 dosis vaksin ini akan mampu melindungi tubuh dari infeksi hepatitis B dengan tingkat keberhailan > 90 % selama lebih dari 20 tahun. Pemberian vaksis hepatitis B direkomendasikan pada individu yg berisiko tinggi terinfeksi VHB, diantaranya : individu terpapar produk darah pada kerjanya, pasien ginjal yang menjalani cuci darah, orang yang berumah tangga atau kontak seksual dengan penderita hepatitis B, tinggal di daerah endemis hepatitis B, petugas kesehatan, dan anak yang lahir dari ibu dg hepatitis B. Imunisasi pasif digunakan hepatitis B immune globulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara cepat dan biasanya diberikan segera setelah bayi lahir bila ibunya penderita infeksi hepatitis B kronis.

  1. Pencegahan umum.

Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah dan produk darah, air liur, cairan vagina, cairan sperma, dan cairan tubuh lainnya. Namun tidak ada bukti penyakit ini bisa menular lewat keringat. Pencegahan umum infeksi VHB dicapai dengan menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh pasien. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : menggunakan sarung tangan bagi tenaga medis yang kontak dengan penderita, sterilisasi instrument dan alat kesehatan dengan benar, penyuluhan dan pembinaan bagi penggunan obat untuk tidak memakai jarum suntik bergantian, menghindari memakai alat yang diduga dapat menularkan VHB ( sikat gigi, sisir, pisau cukur), memakai kondom bila pasangan mengidap VHB, dan skrining ibu hamil yang berisiko tinggi terifeksi.

MENCEGAH KERUSAKAN HATI LEBIH LANJUT

Virus hepatitis B sebenarnya tidak secara langsung menimbulkan kerusakan sel hati. Munculnya gejala dan variasi perjalanan penyakit akibat inveksi VHB sangat bergantung pada keseimbangan antara virus dan sistem kekebalan tubuh. Pajanan virus ini akan menyebabkan 2 keluaran gejala : 1. hepatitis B akut yang kemudian akan sembuh spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini. 2. Berkembang menjadi hepatitis B kronik dg segala akibatnya. Dengan demikian seseorang yg didiagnosis dokter sebagai hepatitis B akut dg gejala seperti demam, mual, muntah, mata dan kencing kuning seperti teh, pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, bilirubin total dan direk, HbsAg (+), IgM anti Hbc (+), dan tidak ada penyebab lain gangguan fungsi hatinya, oleh “kecanggihan” system kekebalan tubuh ciptaan Tuhan ini lebih dari 90 % akan dapat sembuh spontan, untuk kemudian tubuh akan membentuk kekebalan secara alamiah. Hanya saja masalah akan menjadi lebih komplek dan sulit ketika system kekebalan tubuh tidak dapat mengatasi pajanan VHB, kemudian berlanjut menjadi hepatitis B kronik (menahun). Pada umumnya diperlukan pemeriksaan laboratorium berkala yang cukup mahal, dan pengobatan anti virus hepatitis baik yang berupa tablet maupun injeksi yang harganya juga tidak murah. Di Negara berkembang mahalnya biaya pemeriksaan laborat dan harga obat hepatitis B ini menjadi masalah kesehatan tersendiri. PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) bersama DEPKES dan perusahaan farmasi kabarnya sedang mengupayakan penurunan biaya pemeriksaan Lab dan  pengobatan hepatitis B. Namun Peserta ASKES PNS saat ini sudah bisa mendapatkan pengobatan yang memadai karena obat-obat VHB saat ini sudah masuk dalam DPHO ASKES, meski dengan pembatasan-pembatasan dan rujukan khusus.

Memang pengobatan hepatitis B kronik masih menjadi persoalan kesehatan. Khususnya karena masih mahalnya biaya pemeriksaan Lab dan harga obat. Meskpun demikian masyarakat luas sudah semestinya lebih memahami bagaimana mesti bersikap bila sudah terpapar hepatitis B, khususnya hepatitis B kronik. PPHI menyusun Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B terbaru yang terbit th 2012. Berikut akan saya sampaikan sedikit ringkasan bagaimana penatalaksanaan Hepatitis B kronik.

Kapan seorang pasien disebut dengan pengidap hepatitis B kronik?. Diagnosis hepatitis B kronik dipastikan bila : 1. pemeriksaan Lab HbsAg positif yang menetap dalam 6 bulan.    2. Kadar DNA VHB > 20.000 IU/ml. 3. Peningkatan kadar SGPT yang persisten atau intermiten. 4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis kronis.

Pengidap HBV inaktif : HBsAg positif > 6 bulan, HBeAg (-), anti HBe (+), SGPT normal, kadar DNA VHB <2000-20.000 IU/ml, biopsy hati tidak menunjukkan peradangan hati yg dominan.

Bila pasien berkonsultasi ke dokter dengan hasil Lab HBsAg (+), memang perlu dilakukan kajian lebih detail sebelum pemberian pengobatan anti virus VHB. Hal ini penting untuk menentukan status dan kondisi pasien, serta derajad kerusakan hati yg sdh terjadi. Untuk menghemat biaya Lab saya kira cukup diperiksa kadar SGPT, SGOT, HBsAg dan HBeAg. Bila hasilnya tidak normal mungkin perlu dilanjutkan pemeriksaan DNA VHB yang lebih mahal. Bila kadar SGPT normal pada awal pemeriksaan, periksa secara berkala tiap 1-3 bulan sehingga dapat dideteksi peningkatannya, karena peningkatan ini mungkin  berarti virus mulai “berulah” dan perlu dimulai terapi anti virus. Pemeriksaan ulang HBsAg untuk melihat titer (kadarnya) tidaklah perlu, dan tidak memiliki banyak arti, apalagi bila sudah pasti positif dalam waktu > 6 bulan. Bila diperlukan, Pemberian obat anti virus VHB ini harus dengan monitoring dan pengawasan yang ketat baik gejala maupun Lab nya, khususnya karena risiko resisten atau kebal obat dapat terjadi dan pemilihan obat yang lebih tepat. Pada pasien hepatitis B kronis ini PPHI juga merekomendasikan evaluasi USG secara berkala paling tidak 6 bulan sekali supaya dapat dideteksi dini terjadinya sirosis hati dan kemungkinan berkembangnya kanker hati akibat VHB.

Pemberian obat-obat “hepato protector” yang saat ini beredar mulai dari temu lawak, obat herbal maupun obat fitofarmaka tidak dilarang, namun hanya bersifat “suportif” saja, karena belum ada bukti dapat mengobati apalagi mematikan VHB. Berkonsultasilah dengan dokter anda untuk evaluasi dan mendapat terapi yang lebih tepat bila mengidap hepatitis B kronik ini, karena pada umumnya tidak menimbulkan banyak keluhan fisik namun risiko kerusakan hati lebih lanjut sulit untuk diprediksi. Imunisasi sampai saat ini masih merupakan pilihan utama yang cost effective untuk pencegahan dengan angka keberhasilan yang tinggi. Mudah-mudahan informasi ini dapat sedikit membuka wacana pembaca mengenai hepatitis B, dan semoga bermanfaat.